Cerpen Remaja Muslim
NESTAPA CINTA
Oleh :Zaini Yazid
Alumnus
PPMDH TPI Medan
Jln.Pelajar
No.44
Part
5 ................
Dua hari aku berada di rumah sakit, berarti
dua hari aku absent di kampus dan dua hari aku tak pulang ke rumah. Ini pasti
tidak masuk akal. Sudah dua hari ini aku bersama-sama keluarga gadis itu, ya
gadis itu bernama Ainy. Dua hari ini juga ia belum siuman. Kulihat wajah ibunya
yang sangat terpukul dan sedih, aku tahu kemarin malam ia tidak tidur menunggu
anaknya yang terbaring, ia sempat melaksanakan shalat tahajjud memohon
kesembuhan anaknya. Oh, hatiku menjerit, tak mampu aku menahan air mataku yang
mulai tumpah. Kini aku hanya dapat melihat. Aku juga ingin bertahajjud bersama
ibunya, tapi aku merasa malu, karena aku tak pernah melakukannya. Siang itu aku
diajak sholat dzuhur berjamaah oleh adiknya yang laki-laki., Bahrum namanya, ia
baru berusia 7 tahun, adiknya sempat bercerita mengenai kehidupan mereka,
ternyata Ainy dan Adiknya sudah lama ditinggal ayahnya kira-kira 6 tahun yang lalu.
”Sholat!”, aku kaget. Sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan sholat, tapi
hati kecilku terhenyak bagai hipnotis yang mempengaruhiku, ku ikuti langkah
kecilnya menuju musholla rumah sakit. Tiba-tiba ia berbelok ke kanan menuju
kamar mandi. ”Mau kemana?”, tanyaku pelan, “mau berwudhu mas”, jawabnya ringan.
“Oh iya”, balasku lirih. Aku baru ingat jika sholat itu wajib berwudhu’. Hari
itu aku sholat dzhuhur berjamaah bersama adiknya Ainy, sudah sekian lama aku
tidak pernah menunaikan sholat, aku merasa hari ini seperti pertama kali
kalinya aku sholat. Selesai sholat kami pun bergegas keluar dari Musholla.
”Mas, sudah berdo’a untuk kakak?”, tanya Bahrum. ”Su...Sudah....”, jawabku
berbohong. Ia tersenyum di hadapanku. Tak kusadari hatiku berkata, ”Ya Allah,
Siapa pun Engkau, Yang bisa menjawab do’a, kabulkan do’aku, sadarkanlah Ainy ya
Tuhan dari tidurnya, aku mohon pada-Mu”.
Hanya berselang 5 menit dari saat berdo’a,
Bahrum tiba-tiba memanggilku, “Mas, Kak Ainy sudah siuman”. ”Oh iya,
Alhamdulillah ya Allah, Engkau mengabulkan do’aku”, jawabnya bahagia. Aku
langsung bergegas masuk ke ruangan inap Ainy. Sungguh aneh perasaan ini, betapa
aku merasakan kebahagiaan yang tak dapat aku lukiskan dalam hatiku. Sesaat
ibunya berkata, ”Nak Aldie inilah orang yang telah membawamu ke rumah sakit,
dia yang telah menyelamatkanmu Ainy dan menanggung semua perawatan dan
pengobatanmu”. Terima kasih mas Aldie”, ucap Ainy pelan. ”Iya, mudah-mudahan
kamu segera sembuh”, jawabku tunduk. Aku tertunduk merasa bersalah pada Ainy dan
keluarganya, karena aku telah berbohong pada mereka. Bibirku kelu hingga aku
tak dapat berkata bahwa akulah orang yang telah menabraknya hari itu. Aku
terpaksa mengaku sebagai penolongnya, ”dasar biadab”, teriakku dalam hati.
Sungguh aku benar-benar seorang yang nista, tak berani jujur pada kenyataan
yang sebenarnya.
Empat hari sudah waktu berlalu, selama itu
aku terus saja menemani Ainy dan keluarganya hingga membuatku lupa akan
segalanya, rumah, kampus, bahkan kehidupan playboyku. Aku merasa bahagia bila
berada di samping Ainy, sungguh aku tidak ingin melihatnya bersedih. Rasanya
aku tak tega melihatnya terbujur sakit bahkan terluka. ”Perasaan apa ini ya
Allah?”, tanyaku dalam hati. Rumahku sekarang adalah rumah sakit tempat dimana
Ainy dirawat. Belum juga aku pulang ke rumah mewahku. Ya pastilah kedua orang
tuaku mengkhawatirkan aku, karena sejak empat hari yang lalu HP-ku ketinggalan
di rumah. Tadi malam aku ketiduran di Musholla. Aku bermimpi, aku melihat wajah
ayunya sangat lama. Ainy gadis muslimah berjilbab emas, meskipun aku melihatnya
dari kejauhan. Wajahnya tampak berseri dan memberiku kedamaian. Mungkinkah aku
mencintainya? tapi aku sangat merasakannya, ya rasa itu kini hadir dihatiku.
Inikah yang disebut perasaan yang dapat dielakkan. Terbesit kata dalam hatiku
bahwa aku akan lakukan apa saja untuk membuatnya bahagia. Kini aku harus jujur
kepada Ainy bahwa akulah yang telah menabraknya.
Hari kelima, Ainy memanggilku. Hanya ada
aku dan dia dalam ruangan inap itu. Bahrum dan ibunya belum datang. Sesaat ia
tersenyum dihadapanku, aku tertunduk beku, kesombonganku terasa hancur
berkeping saat melihat keteduhan wajahnya, aku sempat gugup dan hanya berkata
terbata, tak kusangka ada selaput air yang bercokol di pelupuk mataku. Ya
seorang playboy seperti aku ini berdiri kaku tak berdaya seperti anak
kehilangan induknya di depan Ainy. “Duduklah Mas“, pinta Ainy tiba-tiba. Aku
langsung duduk tak jauh darinya. Kakiku merasa keram seperti lumpuh dan badan
sedikit bergetar, dan dia mulai bicara, “Ainy ingin berterima kasih sama mas
Aldie karena telah menyelamatkan nyawa Ainy“. Sejurus aku terdiam atas
penuturan Ainy. Aku makin membisu, kini aku pasrah dan takluk di hadapannya.
“Sekarang ini Ainy ingin pulang Mas, Ainy sudah tidak tahan bertarung melawan
penyakit ini, sampaikan salam Ainy pada Ibu dan Bahrum“. Aku tersentak atas
ucapan Ainy. Kemudian ia mengucapkan kalimat tauhid di hadapanku, lalu
memejamkan mata. Aku membangunkannya, namun ia tidak juga bangun, berkali-kali
aku terus memanggilnya, tak juga ia menjawab. Suasana pun lengang seperti alam
syahdu, jernih tapi sangat membingungkan. Aku diam, wajahku pucat pasi,
perasaanku sedih, marah, tak rela, panik dan aku ingin sekali menjerit dan
menangis sekuat-kuatnya. Segera aku memanggil Dokter jaga saat itu. “Tolong
Dokter, tolong selamatkan ia Dok, aku mohon!“, pintaku mengiba. “sabar....sabar
mas, akan saya usahakan dan saya minta Anda keluar sebentar“, jawab Dokter
singkat. Tak lama Dokter keluar dari ruangan dan lalu berkata, “Maaf, jiwanya
tidak tertolong, ia sudah tiada“. Aku menjerit di ruangan itu sendiri, ku lihat
Ibu dan Bahrum belum juga datang. Aku sempat meminta pada petugas rumah sakit
untuk menelepon keluarga Ainy. Aku menangis histeris, hingga air mataku menetes
di kain selimut Ainy. Padahal aku belum pernah menangis seperti ini. “Ya Allah,
sungguh aku mencintainya, tapi kini ia telah Kau ambil kembali“, jerit
bathinku. Sementara Ibu dan Bahrum baru saja tiba dan tangisan pun memecah
kesunyian ruangan dimana jasad Ainy terbujur kaku. Tapi ia terlihat senyum
dengan damai.
“Ya
Allah.........Ya Tuhan, Siapa pun Engkau, Yang bisa menjawab do’aku, kali ini
aku bermohon untuk yang kedua kalinya, hidupkanlah Ainy kembali, jangan
pisahkan aku dengannya”, pintaku memelas. Rasanya aku ingin saja menyusul bersamanya.
Air mataku terus saja mengalir. Ku selesaikan semua urusan administrasi rumah
sakit, aku berpamit pada Ibu dan Bahrum yang masih dalam keadaan duka. Aku tahu
saat itu badanku terasa amat letih. Ku laju mobilku tanpa arah dan tujuan
seakan-akan haluan hidupku telah patah. Kini cinta yang sesungguhnya telah
pergi untuk selama-lamanya. Kemudian aku berhenti di sebuah warung di pinggir
jalan, badanku terasa remuk redam, mataku perih karena kebanyakan menangis.
Pikiranku galau, kini aku pasrah pada hidupku selanjutnya. Rasanya ingin sekali
Ainy hidup kembali dan aku berkata kepadanya bahwa aku mencintainya. Hatiku
perih tak terkira. Dan tiba-tiba dunia terasa gelap gulita...aku pingsan
seketika.
Setelah
beberapa bulan sejak peristiwa itu, aku menjadi semakin dekat dengan Allah
Azzawajalla, Tuhan yang telah menghidupkan dan mematikan manusia. Di tangan-Nya
lah kekuasaan hidup dan mati setiap makhluk. Aku pun selalu melaksanakan sholat
lima waktu bahkan tahajjud di malam harinya. Aku berharap Allah akan mengampuni
dosa-dosa yang telah aku perbuat selama ini. Dalam setiap do’aku, aku selalu
berdo’a buat Ainy dan keluarga. Kini aku yakin dan berharap suatu hari nanti
akan ada Ainy-Ainy yang lain yang dapat aku petik sebagai bunga hidupku dan aku
dapat menjadi pria yang lebih baik di depan semua orang. Sejak kejadian itu,
aku pun mulai menyadari yang dahulu adalah salah dan aku sangat menghargai yang
namanya wanita...