07/11/14

NESTAPA CINTA part 5

Cerpen Remaja Muslim
NESTAPA CINTA
Oleh :Zaini Yazid
Alumnus PPMDH TPI Medan
Jln.Pelajar No.44
Part 5 ................
Dua hari aku berada di rumah sakit, berarti dua hari aku absent di kampus dan dua hari aku tak pulang ke rumah. Ini pasti tidak masuk akal. Sudah dua hari ini aku bersama-sama keluarga gadis itu, ya gadis itu bernama Ainy. Dua hari ini juga ia belum siuman. Kulihat wajah ibunya yang sangat terpukul dan sedih, aku tahu kemarin malam ia tidak tidur menunggu anaknya yang terbaring, ia sempat melaksanakan shalat tahajjud memohon kesembuhan anaknya. Oh, hatiku menjerit, tak mampu aku menahan air mataku yang mulai tumpah. Kini aku hanya dapat melihat. Aku juga ingin bertahajjud bersama ibunya, tapi aku merasa malu, karena aku tak pernah melakukannya. Siang itu aku diajak sholat dzuhur berjamaah oleh adiknya yang laki-laki., Bahrum namanya, ia baru berusia 7 tahun, adiknya sempat bercerita mengenai kehidupan mereka, ternyata Ainy dan Adiknya sudah lama ditinggal ayahnya kira-kira 6 tahun yang lalu. ”Sholat!”, aku kaget. Sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan sholat, tapi hati kecilku terhenyak bagai hipnotis yang mempengaruhiku, ku ikuti langkah kecilnya menuju musholla rumah sakit. Tiba-tiba ia berbelok ke kanan menuju kamar mandi. ”Mau kemana?”, tanyaku pelan, “mau berwudhu mas”, jawabnya ringan. “Oh iya”, balasku lirih. Aku baru ingat jika sholat itu wajib berwudhu’. Hari itu aku sholat dzhuhur berjamaah bersama adiknya Ainy, sudah sekian lama aku tidak pernah menunaikan sholat, aku merasa hari ini seperti pertama kali kalinya aku sholat. Selesai sholat kami pun bergegas keluar dari Musholla. ”Mas, sudah berdo’a untuk kakak?”, tanya Bahrum. ”Su...Sudah....”, jawabku berbohong. Ia tersenyum di hadapanku. Tak kusadari hatiku berkata, ”Ya Allah, Siapa pun Engkau, Yang bisa menjawab do’a, kabulkan do’aku, sadarkanlah Ainy ya Tuhan dari tidurnya, aku mohon pada-Mu”.
Hanya berselang 5 menit dari saat berdo’a, Bahrum tiba-tiba memanggilku, “Mas, Kak Ainy sudah siuman”. ”Oh iya, Alhamdulillah ya Allah, Engkau mengabulkan do’aku”, jawabnya bahagia. Aku langsung bergegas masuk ke ruangan inap Ainy. Sungguh aneh perasaan ini, betapa aku merasakan kebahagiaan yang tak dapat aku lukiskan dalam hatiku. Sesaat ibunya berkata, ”Nak Aldie inilah orang yang telah membawamu ke rumah sakit, dia yang telah menyelamatkanmu Ainy dan menanggung semua perawatan dan pengobatanmu”. Terima kasih mas Aldie”, ucap Ainy pelan. ”Iya, mudah-mudahan kamu segera sembuh”, jawabku tunduk. Aku tertunduk merasa bersalah pada Ainy dan keluarganya, karena aku telah berbohong pada mereka. Bibirku kelu hingga aku tak dapat berkata bahwa akulah orang yang telah menabraknya hari itu. Aku terpaksa mengaku sebagai penolongnya, ”dasar biadab”, teriakku dalam hati. Sungguh aku benar-benar seorang yang nista, tak berani jujur pada kenyataan yang sebenarnya.
Empat hari sudah waktu berlalu, selama itu aku terus saja menemani Ainy dan keluarganya hingga membuatku lupa akan segalanya, rumah, kampus, bahkan kehidupan playboyku. Aku merasa bahagia bila berada di samping Ainy, sungguh aku tidak ingin melihatnya bersedih. Rasanya aku tak tega melihatnya terbujur sakit bahkan terluka. ”Perasaan apa ini ya Allah?”, tanyaku dalam hati. Rumahku sekarang adalah rumah sakit tempat dimana Ainy dirawat. Belum juga aku pulang ke rumah mewahku. Ya pastilah kedua orang tuaku mengkhawatirkan aku, karena sejak empat hari yang lalu HP-ku ketinggalan di rumah. Tadi malam aku ketiduran di Musholla. Aku bermimpi, aku melihat wajah ayunya sangat lama. Ainy gadis muslimah berjilbab emas, meskipun aku melihatnya dari kejauhan. Wajahnya tampak berseri dan memberiku kedamaian. Mungkinkah aku mencintainya? tapi aku sangat merasakannya, ya rasa itu kini hadir dihatiku. Inikah yang disebut perasaan yang dapat dielakkan. Terbesit kata dalam hatiku bahwa aku akan lakukan apa saja untuk membuatnya bahagia. Kini aku harus jujur kepada Ainy bahwa akulah yang telah menabraknya.
Hari kelima, Ainy memanggilku. Hanya ada aku dan dia dalam ruangan inap itu. Bahrum dan ibunya belum datang. Sesaat ia tersenyum dihadapanku, aku tertunduk beku, kesombonganku terasa hancur berkeping saat melihat keteduhan wajahnya, aku sempat gugup dan hanya berkata terbata, tak kusangka ada selaput air yang bercokol di pelupuk mataku. Ya seorang playboy seperti aku ini berdiri kaku tak berdaya seperti anak kehilangan induknya di depan Ainy. “Duduklah Mas“, pinta Ainy tiba-tiba. Aku langsung duduk tak jauh darinya. Kakiku merasa keram seperti lumpuh dan badan sedikit bergetar, dan dia mulai bicara, “Ainy ingin berterima kasih sama mas Aldie karena telah menyelamatkan nyawa Ainy“. Sejurus aku terdiam atas penuturan Ainy. Aku makin membisu, kini aku pasrah dan takluk di hadapannya. “Sekarang ini Ainy ingin pulang Mas, Ainy sudah tidak tahan bertarung melawan penyakit ini, sampaikan salam Ainy pada Ibu dan Bahrum“. Aku tersentak atas ucapan Ainy. Kemudian ia mengucapkan kalimat tauhid di hadapanku, lalu memejamkan mata. Aku membangunkannya, namun ia tidak juga bangun, berkali-kali aku terus memanggilnya, tak juga ia menjawab. Suasana pun lengang seperti alam syahdu, jernih tapi sangat membingungkan. Aku diam, wajahku pucat pasi, perasaanku sedih, marah, tak rela, panik dan aku ingin sekali menjerit dan menangis sekuat-kuatnya. Segera aku memanggil Dokter jaga saat itu. “Tolong Dokter, tolong selamatkan ia Dok, aku mohon!“, pintaku mengiba. “sabar....sabar mas, akan saya usahakan dan saya minta Anda keluar sebentar“, jawab Dokter singkat. Tak lama Dokter keluar dari ruangan dan lalu berkata, “Maaf, jiwanya tidak tertolong, ia sudah tiada“. Aku menjerit di ruangan itu sendiri, ku lihat Ibu dan Bahrum belum juga datang. Aku sempat meminta pada petugas rumah sakit untuk menelepon keluarga Ainy. Aku menangis histeris, hingga air mataku menetes di kain selimut Ainy. Padahal aku belum pernah menangis seperti ini. “Ya Allah, sungguh aku mencintainya, tapi kini ia telah Kau ambil kembali“, jerit bathinku. Sementara Ibu dan Bahrum baru saja tiba dan tangisan pun memecah kesunyian ruangan dimana jasad Ainy terbujur kaku. Tapi ia terlihat senyum dengan damai.
“Ya Allah.........Ya Tuhan, Siapa pun Engkau, Yang bisa menjawab do’aku, kali ini aku bermohon untuk yang kedua kalinya, hidupkanlah Ainy kembali, jangan pisahkan aku dengannya”, pintaku memelas. Rasanya aku ingin saja menyusul bersamanya. Air mataku terus saja mengalir. Ku selesaikan semua urusan administrasi rumah sakit, aku berpamit pada Ibu dan Bahrum yang masih dalam keadaan duka. Aku tahu saat itu badanku terasa amat letih. Ku laju mobilku tanpa arah dan tujuan seakan-akan haluan hidupku telah patah. Kini cinta yang sesungguhnya telah pergi untuk selama-lamanya. Kemudian aku berhenti di sebuah warung di pinggir jalan, badanku terasa remuk redam, mataku perih karena kebanyakan menangis. Pikiranku galau, kini aku pasrah pada hidupku selanjutnya. Rasanya ingin sekali Ainy hidup kembali dan aku berkata kepadanya bahwa aku mencintainya. Hatiku perih tak terkira. Dan tiba-tiba dunia terasa gelap gulita...aku pingsan seketika.
Setelah beberapa bulan sejak peristiwa itu, aku menjadi semakin dekat dengan Allah Azzawajalla, Tuhan yang telah menghidupkan dan mematikan manusia. Di tangan-Nya lah kekuasaan hidup dan mati setiap makhluk. Aku pun selalu melaksanakan sholat lima waktu bahkan tahajjud di malam harinya. Aku berharap Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah aku perbuat selama ini. Dalam setiap do’aku, aku selalu berdo’a buat Ainy dan keluarga. Kini aku yakin dan berharap suatu hari nanti akan ada Ainy-Ainy yang lain yang dapat aku petik sebagai bunga hidupku dan aku dapat menjadi pria yang lebih baik di depan semua orang. Sejak kejadian itu, aku pun mulai menyadari yang dahulu adalah salah dan aku sangat menghargai yang namanya wanita...